Rabu, 24 November 2010

RAPUHNYA AGROEKOSISTEM SAWIT

Degradasi lahan dan erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sifatnya mendasar dan menonjol di tanah tropika lahan kering untuk pertanian tanaman pangan. Erosi merupakan penyebab utama kerusakan lahan dan lingkungan. Permasalahan degradasi lahan dan beratnya erosi disebabkan oleh 1) curah hujan yang mempunyai nilai erosivitas tinggi, 2) tanah peka erosi, 3) kemiringan lereng melebihi batas kemampuan lahan untuk tanaman pangan, 4) cara pengelolaan tanah dan tanaman yang salah termasuk kebiasaan membakar dan cara pembukaan lahan yang salah, dan 5) tindakan konservasi lahan yang belum memadai. Faktor lain yang mempercepat kerusakan lahan yaitu merosotnya kadar bahan organik karena pembakaran sisa tanaman dan pencucian hara. Permasalahan degradasi lahan dapat dihindari dengan pencegahan erosi sedini mungkin sejak lahan dibuka, perbaikan cara pembukaan lahan, program penggunaan lahan disesuaikan kemampuan lahan, dan dihindarkan pembukaan daerah yang tidak layak untuk pertanian.

Ekosistem yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai wilayah ekstensifikasi agroekosistem adalah lahan kering beriklim basah yang banyak tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia. Tanah ini menempati 43, 5% dari luas pulau Sumatera, 30% dari luas Kalimantan, 23% dari wilayah Papua, dan 10% dari luas Sulawesi (Sudjadi, 1984).
Lahan kering beriklim basah yang tersebar luas itu umumnya berjenis tanah tropika, yang memiliki berbagai kendala keharaan, peka erosi dan cepat mengalami degradasi bila dikelola tanpa usaha-usaha konservasi yang tepat (Partohardjono, dkk. 1988). Kesuburan alamiah tanah ini sangat tergantung pada kandungan bahan organik lapisan atasnya, dan bersifat tidak mantap dimana kadarnya menurun dengan cepat setelah pembukaan lahan.
Sebagian besar wilayah ekstensifikasi pertanian selama ini terletak pada tanah tropika yang ditutupi hutan dan sebagian kecil bervegetasi semak dan alang-alang. Ekosistem daerah hutan hujan tropika umumnya merupakan ekosistem yang sudah sangat mantap. Namun, dengan adanya pembukaan lahan untuk ekstensifikasi mengakibatkan perubahan yang luar biasa pada masukan-keluaran hidrologi, erosi, iklim mikro, dan produksi biomassa. Perubahan dari hutan tropika basah menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit akan menimbulkan masalah segera setelah pembukaan lahan seperti ketika daur hara pada sistem siklus tertutup menjadi terputus oleh adanya perubahan tegakan biomassa. Penurunan produksi biomassa akan menurunkan produktivitas tanah bila tidak ada tindakan konservasi lahan. Penurunan produktivitas ini diakibatkan oleh menurunnya rezim kelembaban tanah, meningkatnya erosi, dan menurunnya kualitas fisik dan kimia tanah.
Penurunan kualitas fisik dan kimia tanah, atau degradasi tanah dipengaruhi oleh agroekologi seperti kualitas tanah, daya lenting tanah, iklim; dan agrososial yaitu tekanan penduduk, kemiskinan. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia 60% tanahnya menempati tanah Ultisols memiliki kualitas yang rendah dimana pH tanah < 5, KTK tanah rendah, <15 me g-1, C-organik < 1%, cadangan mineral rendah, tingkat erodibilitas dan pencuciannya sangat tinggi (Adiwiganda, dkk. 1997). Pengelolaan tanah tropika untuk perkebunan kelapa sawit di tingkat plasma dihadapkan pada permasalahan adopsi teknologi yang tidak baku teknis karena keterbatasan pengetahuan dan daya beli agro-input yang rendah. Produktivitas puncak kebun sawit dicapai pada tahun ke-9 umur tanaman, pada perkebunan inti hasil dapat mencapai 27.6 ton TBS ha-1tahun-1, sedangkan pada kebun plasma hanya berproduksi 13.6 ton TBS ha-1tahun-1, atau sekitar 50% dari produksi kebun inti (Poeloengan, dkk. 2001). Rendahnya produktivitas pada kebun plasma disebabkan kualitas sumberdaya petani plasma dan kemampuan swadayanya yang rendah. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia rentan terhadap degradasi dan kelas kesesuaian lahannya termasuk S-3. Setelah 12 tahun pembukaan perkebunan kelapa sawit di PTP Mitra Ogan Sumatera Selatan terjadi penurunan kandungan bahan organik yang sangat signifikan, yaitu pada tanah Podsolik Kromik yang awalnya kandungan C-organik rata-rata sebesar 2.21% turun menjadi 1.68 – 1.87%, dan pada Podsolik Plintik dari 2.27% menjadi 1.37 – 1.50% (Iswati, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa setelah 12 tahun pembukaan kebun kelapa sawit terjadi penurunan kelas kesesuaian lahan dari S-2 menjadi S-3 dan N; dari S-3 menjadi N atau tetap S-3 tetapi bertambah faktor pembatasnya. Perubahan kelas kesesuaian lahan akibat pembukaan kebun kelapa sawit disajikan pada Tabel 1. 

Dari Tabel 1 terlihat bahwa setelah 12 tahun pengelolaan kebun kelapa sawit oleh petani terlihat terjadi penurunan kualitas lahan karena menurunnya kandungan bahan organik tanah dan ketersediaan hara kanah karena kation-kation basa tercuci, diserap tanaman dan terangkut oleh hasil panen. Pemupukan yang dilakukan dalam pengelolaan kebun ini kurang tepat karena dosis pupuk yang diberikan baru 50% dari dosis yang dianjurkan, waktu pemupukan 2/3 dosis pupuk semuanya diberikan pada awal musim hujan, dan disebar di atas permukaan piringan sehingga memungkinkan kehilangan melalui penguapan dan pencucian (Iswati, 2006). Mengingat restorasi kesuburan tanah terdegradasi memerlukan waktu yang sangat lama maka pengelolaan yang tepat perlu mendapat perhatian.
Upaya pengelolaan kebun kelapa sawit yang tepat, terpadu, dan berkesinambungan merupakan upaya yang mutlak dilakukan. Menjaga permukaan tanah tetap tertutup baik secara vegetatif maupun aplikasi bahan pembenah tanah dari sisa panen, pemupukan yang rasional, dan membuat bangunan konservasi tanah dan air (Poeloengan, dkk. 2001), sehingga degradasi tanah dapat ditahan, dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan ke arah potensi hasil sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar