Rabu, 24 November 2010

PELUANG PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA: PERSPEKTIF JANGKA PANJANG 2025

Setelah tumbuh pesat sampai dengan tahun 1990-an, industri kelapa sawit di Indonesia saat ini menghadapi berbagai kendala sehingga investor mulai ragu-ragu menanamkan modalnya pada bisnis kelapa sawit. Tulisan ini mencoba menganalisis prospek serta peluang investasi bisnis kelapa sawit di Indonesia dengan horison waktu 2005-2025. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi CPO dunia sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Dengan produksi pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton, peluang peningkatan produksi sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton. Indonesia diperkirakan memperoleh peluang terbesar dengan memanfaatkan sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta atau setara dengan peluang perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha. Secara keseluruhan, kebutuhan investasi kebun dan pabrik CPO sampai dengan tahun 2020 berikisar antara Rp 57.12 – Rp 67.97 triliun. Dalam memanfaatkan peluang tersebut, ada 22 hambatan dalam melakukan investasi, terutama keterbatasan sumber pendanaan, ekses otonomi dareah, konflik lahan, dan tekanan isu lingkungan.


I.     PENDAHULUAN
Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Laju yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit merupakan salah primadona pada sub-sektor perkebunan.
Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Di samping karena kesulitan sumber pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga menghambat perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa pasar kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh. Akibat semua hal itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada bisnis kelapa sawit.
Benarkah pandangan tersebut dan bagaimana prospek bisnis kelapa sawit pada masa mendatang? Makalah ini akan mencoba melihat prospek pasar untuk jangka panjang sampai dengan tahun 2025. Informasi tersebut dapat menjadi acuan bagi investor dan pemerintah dalam melakukan dan mnerapkan kebijakan investasi pada bisnis tersebut.
Sejalan dengan hal itu, organisasi tulisan ini disusun sebagai berikut. Setelah Pendahuluan, sekilas akan diuraikan peta kompetisi minyak nabati di pasar dunia serta prospek pasar CPO sampai dengan tahun 2025. Selanjutnya, dibahas perkembangan industri CPO Indonesia, peluang pasar yang masih terbuka, serta kendala dan kebijakan dalam memanfaatkan peluang tersebut.



DINAMIKA PASAR MINYAK NABATI DAN PROSPEK PASAR CPO
A.  Dinamika Pasar Minyak Nabati di Pasar Internasional
Pasar minyak nabati di pasar internasional merupakan salah satu pasar yang kompetitif, melibatkan lebih dari sembilan jenis minyak serta hampir diproduksi dan dikonsumsi di semua negara, baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Minyak nabati yang banyak diperdagangkan di pasar internasional antara lain minyak kedele, minyak sawit, rapeseed oil, sunflower oil, minyak kelapa, minyak jagung, dan minyak kacang tanah.
Dari segi daya saing dan kinerja, minyak sawit dinilai memiliki daya saing dan kinerja yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an. Beberapa jenis minyak nabati seperti sunflower dan rapeseed oil terus mengalami penurunan pangsa. Hal ini menunjukkan bahwa CPO di pasar dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran minyak nabati lainnya (Susila 1998; Basiron 2002).
Pada lima tahun terakhir, daya saing CPO di pasar internasional masih lebih baik dari daya saing minyak nabati lainnya (Basiron 2002). Hal ini tercermin dari pertumbuhan pasar CPO yang secara umum paling tinggi. Konsumsi CPO dunia pada lima tahun terakhir tumbuh dengan laju 7.70% per tahun, jauh diatas rata-rata konsumsi minyak dunia yang hanya 3.44% per tahun (Tabel 1). Pada periode tersebut, hanya minyak kedele yang masih tumbuh dengan laju 4.49% per tahun.
Konsumsi rapeseed oil dan sunflower oil di pasar dunia justru mengalami penurunan. Sebagai akibatnya, pangsa konsumsi CPO di dunia meningkat 4.12% per tahun pada periode tersebut menjadi 27.77%, dengan tingkat konsumsi mencapai 27.77 juta ton pada tahun 2004.


Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004
Jenis Minyak

Konsumsi
Growth
(% p.a)
Pangsa
Growth
(% p.a)
1999
2004
1999
2004
Kedele
24.5
30.52
4.49
31.22
32.83
1.01
CPO
17.81
25.81
7.70
22.69
27.77
4.12
Rapseed
11.39
11.34
-0.09
14.51
12.20
-3.41
Sunflower
8.81
8.27
-1.26
11.23
8.90
-4.54
Lainnya
15.97
17.01
1.27
20.35
18.30
-2.10
Total
78.48
92.95
3.44
100.00
100.00

Sumber: USDA (2004)
Hal yang identik juga terjadi pada aspek produksi. Pada periode 1999-2004, produksi CPO meningkat dengan laju 5.93% per tahun dengan total produksi mencapai 25.67 juta ton pada tahun 2004 (Tabel 2). Dengan pangsa produksi sekitar 32.79%, minyak kedele juga tumbuh dengan laju 4.20% per tahun pada periode tersebut. Minyak lain khususnya rapeseed oil dan sunflower oil dengan pangsa produksi nomor tiga dan empat, mengalami penurunan, masing-masing dengan laju – 1.00% dan –1.88% per tahun. Dengan kondisi tersebut, pangsa produksi CPO di dunia kembali meningkat dengan laju 3.06% per tahun.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004
Jenis Minyak

Konsumsi
Growth
(% p.a)
Pangsa
Growth
(% p.a)
1999
2004
1999
2004
Kedele
24.65
30.28
4.20
30.61
32.79
1.38
CPO
19.25
25.67
5.93
23.90
127.80
3.06
Rapseed
11.81
11.23
-0.09
14.51
12.20
-3.41
Sunflower
8.81
8.27
-1.00
11.40
9.04
-4.53
Lainnya
15.64
16.82
1.47
19.42
18.21
-1.28
Total
80.53
92.35
2.78
100.00
100.00

Sumber: USDA (2004)

Perdagangan (ekspor/impor) CPO juga mengalami pertumbuhan yang paling pesat bila dibandingkan dengan perdagangan minyak nabati lainnya. Dengan pangsa pasar terbesar yaitu 47.59% pada tahun 2004, ekspor CPO meningkat dengan laju paling pesat pada lima tahun terakhir yaitu 7.37% per tahun. Minyak kedele sebagai pesaing utama hanya tumbuh dengan laju 3.35% per tahun. Pertumbuhan ekspor rapeseed oil dan sunflower oil mengalami penurunan yang cukup signifikan, masing-masing dengan laju –4.00% dan –5.46% per tahun. Situasi ini kembali memperbesar pangsa perdagangan minyak sawit dengan laju 3.18% per tahun. Minyak kedele sebagai pesaing utama mengalami penurunan pangsa di perdagangan dengan penurunan pangsa sekitar –0,68% per tahun.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004
Jenis Minyak

Konsumsi
Growth
(% p.a)
Pangsa
Growth
(% p.a)
1999
2004
1999
2004
Kedele
8.71
10.27
3.35
27.82
26.88
-0.68
CPO
12.74
18.18
7.37
40.69
47.59
3.18
Rapseed
2.98
2.43
-4.00
9.52
6.36
7.74
Sunflower
3.8
2.87
-5.46
12.14
7.51
-9.15
Lainnya
3.08
4.45
7.64
9.84
11.65
3.44
Total
31.31
38.2
4.06
100.00
100.00

Sumber: USDA (2004)

B.  Prospek CPO di Pasar Internasional Cukup Terbuka
Dengan kinerja dan daya saing yang cukup baik, prospek CPO di pasar internasional, baik dilihat dari sisi peluang peningkatan konsumsi maupun ekspor diperkirakan masih cukup baik. Hasil analisis yang dilakukan FAO (2001), Mielke (2001), dan Susila (2002) menunjukkan peluang peningkatan konsumsi CPO masih terbuka. Dari studi tersebut, peluang peningkatan konsumsi CPO untuk jangka panjang sampai dengan 2005 diperkirakan akan mengalami 3 fase pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan pertama atau fase pertumbuhan cepat (2005-2010), konsumsi CPO diperkirakan masih cukup tinggi, walaupun lebih rendah dari pertumbuhan pada dekade terakhir. Fase kedua (2010-1017) dikenal sebagai fase pertumbuhan yang lambat, namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan produk kompetitiornya yaitu pertumbuhan konsumsi minyak kedele. Fase ketiga (2017-2025) dikenal sebagai pertumbuhan yang alami (natural) yaitu pada saat pasar mulai jenuh dan pertumbuhan konsumsi hanya sekitar 1.5% per tahun.
Dengan pembagian fase tersebut, secara umum ada dua skenario proyeksi konsumsi CPO dunia. Skenario pertama adalah skenario aman/pesimistis. Skenario ini dapat dinilai sebagai masukan yang aman bagi investor yang terjun ke bisnis kelapa sawit atau tingkat konsumsi/peluang pasar yang minimal akan dapat dimanfaatkan. Skenario ini memperkirakan bahwa konsumsi CPO akan tumbuh dengan laju antara 1.5% - 3.5% sampai dengan tahun 2005. Pada fase pertama, skenario ni memperkirakan pertumbuhan konsumsi sekitar skenario 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Pada periode 2010 – 2017, konsumsi diperkirakan akan tumbuh antara 1.5% - 3.5% per tahun. Ada fase ketiga konsumsi CPO akan mengalami pertumbuhan natural sekitar 1.5%.
Skenario kedua atau skenario optimistik memperkirakan bahwa konsumsi CPO dunia akan tumbuh dengan laju antara 1.5% - 5.0% pada periode 2005-2025. Proyeksi ini dilandasi pemikiran adanya perkembangan yang cukup pesat pada industri hilir kelapa sawit seperti biodiesel dan oleokimia. Pada fsse pertama, konsumsi diperkirakan akan tumbuh antara 3.5%-5.0% per tahun. Pada fase kedua (2010-2017), konsumsi diperkirakan akan tumbuh antara 1.9% - 3.3% per tahun. Selanjutnya, pada fase pertumbuhan natural, konsumsi diperkirakan akan tumbuh dengan laju 1.5% per tahun.
Berdasarkan kedua skenario tersebut, proyeksi konsumsi CPO diperkirakan akan berkisar antara 31.73 – 32.97 juta ton. Selanjutnya, sampai dengan akhir fase kedua (2017), konsumsi akan berkisar antara 36.80 – 39.28 juta ton. Pada akhir fase ketiga, konsumsi CPO dunia diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton.
Peningkatan konsumsi yang signifikan terutama akan terjadi pada negara yang sedang berkembang seperti di Cina, Pakistan, India, Mesir, dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan konsumsi dengan laju sekitar 4%-6% per tahun. Konsumsi CPO di Cina dan Pakistan diproyeksikan juga akan tumbuh dengan laju sekitar 4-6% per tahun (Susila 2001). Perdagangan (ekspor-impor) CPO dunia diproyeksikan akan meningkat dengan laju berkisar antara 2%-6% pada periode 2005-2025. Sampai dengan tahun 2010, perdagangan diperkirakan akan meningkat antara 4% - 6% per tahun. Pada periode 2010-2018, perdagangan mash terus meningkat namun dengan laju lebih rendah yaitu antara 2%-4%. Setelah tahun 2017, perdagangan akan stabil dengan laju peningkatan yang bersifat alami yaitu sekitar 2% per tahun. Dengan perkembangan tersebut, perdagangan CPO dunia pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai sekitar 23.46 juta ton (Gambar 2). Pada tahun 2017, perdagangan CPO dunia sudah di atas 30 juta ton dan pada tahun 2025 diproyksikan akan mencapai 34.75 juta ton. Malaysia dan Indonesia tetap merupakan negara pengekspor utama dengan peluang peningkatan ekspor masing-masing sekitar 3.2% dan 6.5% per tahun. Dari sudut alokasi pangsa pasar, Indonesia diperkirakan masih menguasai pasar untuk negara-negara di beberapa Eropa Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman. Malaysia lebih banyak menguasai pasar China (1.8 juta ton), India (1.7 juta ton), EU (1.5 juta ton), Pakistan (1.1 juta ton), Mesir (0.5 juta ton), dan Jepang (0.4 juta ton). Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004; Susila 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak.
Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001). Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan karena pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).
Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang.
Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing CPO. Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan sunflower oil selama ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut menganggap pasar internasional sebagai pasar untuk ‘membuang’ kelebihan produksi sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang umumnya memproduksi CPO diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal peningkatan produksi, 82% dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara berkembang, sedangkan negara maju hanya sekitar 12% (Pasquali, 1995). Seperti kebanyakan harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit untuk diprediksi dengan akurasi yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif dengan dinamika yang perubahan yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga yang dilakukan lebih pada menduga kisaran. Dengan argumen tersebut, harga CPO sampai dengan 2005-2025 sebagian besar diperkirakan akan berfluktuasi sekitar US$ 350-450/ton (FAO, 2003; Susila 2002). Jumlah stok yang terus menurun pada lima tahun terakhir dari sekitar 10% dari konsumsi menjadi 7% (Tabel 4), memberi indikasi bahwa harga CPO akan tidak menurun secara drastis
dalam waktu jangka pendek.
Tabel 4. Perkembangan Stok Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004
Jenis Minyak

Konsumsi
Growth
(% p.a)
Pangsa
Growth
(% p.a)
1999
2004
1999
2004
Kedele
2.17
1.98
-1.82
29.09
30.41
0.90
CPO
2.57
2.42
-1.20
34.45
37.17
1.53
Rapseed
0.49
0.5
0.40
6.57
7.68
3.18
Sunflower
0.75
0.42
10.95
10.05
6.45
-8.49
Lainnya
1.48
1.19
-4.27
19.84
18.28
1.62
Total
7.46
6.51
-2.69
100.00
100.00

Sumber: USDA (2004)


PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN CPO INDONESIA
A.  Prospek dan Peluang Investasi di Indonesia
Seperti disebutkan, minyak sawit merupakan salah satu komoditas yang perkembangannya paling pesat pada tiga dekade terakhir. Bahkan pada saat krisis dan pemulihan ekonomi (1998-2003), kelapa sawit masih menunjukkan perkembangan yang pesat (Tabel 5). Pada periode tersebut, pertumbuhan areal mencapai 12.04% per tahun dengan luas aral tahun 2003 mencapai 4.923 juta ha. Produksi juga tumbuh pesat pada periode tersebut dengan laju 13.6% per tahun dengan tingkat produksi mencapai 10.683 jua ton pada tahun 2003. Volume ekspor juga meningkat dengan laju 16.37% per tahaun, sedangkan nilai ekspor minyak sawit meninkat dengan laju 7.67% per tahun. Konsumsi domstik juga tidak ketinggalan dengan laju peningkatan sekitar 7.33% per tahun pada periode tersebut. Dengan kinerja yang demikian bagus, bagaimana prospek/peluang Indonesia dalam pasar CPO dunia?
Tabel 5. Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia, 1998-2003
Aspek
Kondisi 2003
Pertumbuhan 1998-2003
(%)

Luas (juta ha)

4.923
12.04
Produksi (juta ton)
10.683
13.62
Volume Ekspor (juta ton)
6.333
16.37
Nilai Ekspor (US$ juta)
2.992
7.67
Konsumsi Domestik (juta ton)
3.934
7.33
Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Dalam melihat peluang pasar CPO Indonesia, maka terlebih dahulu perlu diestimasi peluang pasar (peningkatan konsumsi) di pasar dunia. Berdasarkan hasil estimasi sebelumnya, tingkat konsumsi sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Di sisi lain, produksi CPO dunia pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton. Dengan demikian, peluang peningkatan produksi sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton. Dengan peluang pasar yang cukup terbuka baik dari sisi ekspor ataupun konsumsi dunia secara keseluruhan, negara produsen CPO akan berusaha memanfaatkan peluang pasar tersebut. Malaysia dan Indonesia diperkirakan sebagai negara yang paling banyak dapat memanfaatkan peluang tersebut. Sebagai perkiraan, Malaysia sebagai produsen utama diperkirakan akan memanfaatka peluang tersebut dengan peningkatan produksi dengan laju 2.8%-1.5% per tahun. Indonesia diperkirakan masih akan mempunyai peluang untuk memanfaatkan peluang tersebut dengan peningkatan produksi dengan laju antara 3.0%-7.6% per tahun (Susila, 2002).
Ada beberapa argumen yang mendukung bahwa dengan dukungan kebijakan yang konsisten dan efektif, Indonesia diperkirakan akan memperoleh peluang terbesar untuk memanfaatkan peluang pasar tersebut. Faktor utama adalah ketersediaan lahan yang masih cukup luas. Taher et al. (2000) telah mengidentifikasi ketersediaan lahan yang cocok untuk kelapa sawit mencapai sekitar 2.9 juta ha (Tabel 6). Di sisi lain, Malaysia menghadapi kesulitan karena keterbatasan lahan yang sangat terbatas untuk perluasan (Basiron 2002). Negara lain seperti Thailand juga diperkirakan akan tidak dapat mengejar dengan cepat karena keterbatasan lahan, bibit, dan kebijakannya yang tidak meletakkan kelapa sawit sebagai komoditi unggulan. Prodksi CPO Nigeria diperkirakan hanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan argumen tesrebut, Malaysia diperkirakan akan dapat memanfaatkan peluang sebesar 20% (3.16 – 3.76 juta ton) dan sekitar 40% (6.31 – 7.51 juta ton) akan dimanfaatkan oleh negara lain. Indonesia diperkirakan memperoleh peluang terbesar dengan memanfaatkan sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta (Tabel 7). Hal ini berarti bahwa dengan asumsi produktivitas adalah sekitar 3.5 ton CPO/ha, Indonesia berpeluang untuk melakukan perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha. Jika perluasan dilakukan antara tahun 2005-2025, maka setiap tahun Indonesia harus melakukan perluasan sekitar 120 –140 ribu ha.

Tabel 6. Ketersediaan Lahan Untuk Perluasan Kelapa Sawit
Propinsi
Luas (000 ha)

Jambi
50
Kalimantan Tengah
310
Kalimantan Timur
370
Sulawesi Selatan
130
Sulawesi Tengah
200
Papua Barat
2000
Total
2960
Sumber : Taher et al., (2000)
Tabel 7. Peluang Perluasan dan Investasi Kelapa Sawit Indonesia, 2005-2025
Deskripsi
Satuan
Skenario

Pesimis
Optimis
Peluang Pasar CPO Dunia
Produksi CPO Dunia, 2004
Produksi CPO Dunia, 2025
Peluang Peningkatan Produksi, 2004-2025

juta ton
juta ton
juta ton

25.67
41.45
15.78

25.67
44.45
18.78
Distribusi Peluang Pasar
Malaysia (20%)
Negara Lain (40%)
Indonesia (40%)

juta ton
juta ton
juta ton

3.16
6.31
6.31

3.76
7.51
7.51
Peluang Perluasan Areal dan Investasi di Indonesia
Perluasan areal
Rata-rata perluasan/per tahun
Kebutuhan investasi kebun
Kebutuhan Investasi Pabrik CPO
Total Investasi
Rata-Rata Investasi/tahun

Juta ha
Juta ha
Rp triliun
Rp triliun
Rp triliun
Rp triliun

1.80
0.12
36.08
21.05
57.12
3.81

2.15
0.14
42.93
25.04
67.97
4.53
Perluasan tersebut memerlukan dukungan dana investasi, baik untuk investasi kebun dan pabrik. Untuk investasi kebun, kebutuhan total investasi diperkirakan berkisar antara Rp 36.08 – 42.93 triliun. Perluasan areal kelapa sawit tersebut memerlukan tambahan pabrik CPO antara 300–350 pabrik pengolahan CPO dengan kebutuhan total dana investasi mencapai antara Rp. 21 – 25 triliun. Secara keluruhan, kebutuhan investasi sampai dengan tahun 2025 berikisar antara Rp. 57.12 – Rp. 67.97 triliun, dengan rata-rata berkisar antara Rp. 3.81 – Rp. 4.53 triliun per tahun.
B.  Kendala dan Kebijakan
Dengan peluang investasi yang masih terbuka, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Seberapa besar peluang tersebut dapat dimanfatkan akan sangat bergantung pada iklim investasi/bisnis di Indonesia. Menurut sirvei yang dilakukan oleh ADB (2003), secara umum ada 22 hambatan bisnis di Indonesia. Dua hambatan utama adalah instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi. Faktor berikutnya yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah korupsi, baik pada tingkat local maupun nasional. Selanjutnya, masalah perpajakan dan biaya modal juga menjadi faktor penghambat investasi di Indonesia.
Secara lebih spesifik pada bidang investasi kelapa sawit, beberapa hambatan utama untuk melakukan investasi adalah sebagai berikut:
a.      Keterbatasan Sumber Pendanaan
Sejak tidak adanya BLBI sebagai kredit murah, berbagai kegiatan investasi perluasan kelapa sawit di Indonesia, seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan mengalami kemacetan atau perluasannya sangat terbatas. Dalam mengatasi hal tersebut, sumber pendanaan perlu digali seperti dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah.

b.      Ekses Otonomi Daerah
Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai tahun 2001 tentunya akan mempunyai pengaruh terhadap kinerja subsektor perkebunan pada masa mendatang.
Ada dua undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah yaitu UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya memberi wewenang yang lebih luas pada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki. Dengan belum jelasnya operasionalisasi dari otonomi daerah tersebut, khususnya yang berkaitan dengan subsektor perkebunan, maka pengaruh otonomi daerah terhadap subsektor perkebunan masih memerlukan kajian lebih mendalam. Dampak positif yang diharapkan dari otonomi daerah adalah bahwa inisiatif daerah lebih terpacu sehingga potensi ekonomi daerah, termasuk subsektor perkebunan, dapat digali secara optimal. Hal ini cenderung mendorong daerah untuk melakukan spesialisasi guna meningkatkan efisiensi pada semua bidang, termasuk subsektor perkebunan.
Kemungkinan dampak negatif dari otonomi daerah terhadap subsektor perkebunan adalah adanya kompetisi antar daerah dalam mengembangkan subsektor tersebut. Jika tidak ada koordinasi antar daerah atau dari pemerintah pusat, persaingan tersebut dikhawatirkan akan memperlemah posisi rebut tawar Indonesia di pasar internasional. Sebagai contoh, jika beberapa daerah berusaha meningkatkan produksi produk perkebunan sehingga melebihi peluang pasar yang ada, maka kelebihan penawaran sulit dihindarkan. Sebagai akibatnya, harga turun yang tentunya merugikan produsen perkebunan Indonesia.
Sisi negatif lain yang tampaknya akan berlanjut dihadapi subsektor perkebunan sebagai akibat otonomi daerah adalah meningkatnya jumlah pungutan, retribusi, ataupun sumbangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini tentunya semakin memberatkan pelaku bisnis perkebunan pada masa mendatang sehingga situasi ini tidak akan kondusif untuk mengembangkan subsektor perkebunan.
Hal lain yang masih terkait dengan otonomi daerah adalah belum jelasnya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan daerah. Kondisi ini sering membingungkan dan mengkhawatirkan pelaku bisnis yang ingin melakukan investasi pada subsektor perkebunan. Pembagian wewenang ini perlu segera diterjemahkan dan disosialisasikan sehingga pelaku bisnis tidak dihinggapi rasa kekhawatiran untuk melakukan kegiatan bisnis di subsektor perkebunan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, master plan pengembangan minyak sawit secara nasional merupakan suatu keharusan. Di samping itu, berbagai kendala pungutan yang mempunyai dampak negatif secara signifikan terhadap investasi perlu ditinjau kembali.

c.       Isu Lingkungan
Pengembangan tanaman perkebunan, kelapa sawit khususnya, akhir-akhir ini mendapat sorotan karena dianggap merusak lingkungan. Memasuki awal abad 21, masalah lingkungan masih akan tetap mendapat tekanan, khususnya dari kalangan LSM lingkungan. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk menyatakan perluasan areal kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Pertama, areal kelapa sawit dianggap berasal dari lahan hutan yang memberi keuntungan ganda pada pengusaha dalam bentuk kayu dan produk kelapa sawit. Hal ini memang tidak sepenuhnya benar karena banyak juga kebun yang berasal dari lahan yang bukan hutan.
Pengusahaan kebun secara monokultur juga dijadikan argumen lain untuk mendukung kekhawatiran bahwa kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Kasus serangan belalang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diyakini berkaitan dengan habisnya hutan di wilayah tersebut akibat kelapa sawit. Masalah banjir juga sering dikaitkan dengan perluasan kelapa sawit. Situasi tersebut akan mempersulit pengembangan kelapa sawit pada masa mendatang. Untuk itu, pengembanan kelapa sawit harus menerapkan konsep berkelanjutan dan menerapkan teknologi dengan dampak lingkugan yang minimal.

d.      Konflik Lahan dan Penjarahan.
Masalah lain yang masih harus diantisipasi dalam pengembangan kelapa sawit adalah konflik lahan dan penjarahan, baik itu penjarahan kebun maupun produksi. Masalah ini cukup mengkhawatirkan perusahaan perkebunan, karena masalah ini sudah menyebar lintas wilayah dan komoditas. Nilai kerugian finansial yang ditimbulkan oleh konflik lahan dan penjarahan ini, walaupun bervariasi bergantung sumbernya, sebenarnya sudah sangat besar. Sebuah laporan menyebutkan bahwa kerugian penjarahan di perkebunan sudah mencapai Rp 5 triliun yang di derita oleh sekitar 120 perusahaan perkebunan (Anonim 2000). Selanjutnya, penyerobotan atau okupasi lahan perkebunan diperkirakan sudah mencapai lebih dari 100 ribu ha. Situasi ini tidak hanya mencemaskan bagi perusahaan yang sudah ada, tetapi juga membuat perusahaan baru membatalkan atau menunda usaha investasi di bisnis perkebunan. Untuk itu, model pembangunan industri minyak sawit harus benar-benar memanfaatkan aspek kesinambungan dan keadilan, khususnya dengan masyarakat sekitar. Dengan perkataan lain, masyarakat sekitar sejak awal sudah dilibatkan agar menampung aspirasi mereka tertampung secara fair.


III.             PENUTUP
Setalah mengalami masa keemasan sampai dengan pertengahan tahun 1990- an, bisnis kelapa sawit mengalami penurunan kinerja, khususnya dari aspek investasi. Berbagai faktor internal dan eksternal telah menimbulkan persepsi bahwa peluang investasi di bisnis tersebut mulai menurun. Padahal, peluang investasi sebenarnya masih cukup terbuka dalam waktu yang relatif panjang (2025).
1. Konsumsi CPO sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Dengan produksi pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton, peluang peningkatan produksi sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton.
2. Indonesia diperkirakan memperoleh peluang terbesar dengan memanfaatkan sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta atau setara dengan peluang perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha. Jika perluasan dilakukan antara tahun 2005-2025, maka setiap tahun Indonesia harus melakukan perluasan sekitar 120 –140 ribu ha.
3. Perluasan tersebut memerlukan dukungan dana investasi untuk kebun yang berkisar antara Rp 36.08 – 42.93 triliun dan investasi sebanyak 300-350 pabrik CPO kebutuhan total dana investasi mencapai antara Rp 21 – 25 triliun. Secara keluruhan, kebutuhan investasi sampai dengan tahun 2025 berikisar antara Rp 57.12 – Rp 67.97 triliun, dengan rata-rata bekisar antara Rp 3.81 – 4.53 triliun per tahun.
4. Dalam memanfaatkan peluang tersebut, secara umum ada 22 hambatan umum dalam melakukan investasi di Indonesia. Beberapa hambatan utama adalah instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi, korupsi, baik pada tingkat local maupun nasional, perpajakan dan biaya modal. Secara lebih spesifik untuk investasi di bidang kelapa sawit, Indonesia mengalami empat kendala utama yaitu keterbatasan sumber pendanaan, ekses otonomi dareah, konflik lahan, dan tekanan isu lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah dan investor sangat dituntut menerapkan bebagai kebijakan/upaya untuk mengatasi kendala tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
ADB. 2005. Business Survey Highlights Investment Climate Challenge in Indonesia, http://www.adb.org/Help/whatsold.asp#200505, 26 May 2005.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2004). Statistik Perkebunan, Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Herman, et. al. (2000). ‘Kajian beberapa alternatif pola pengembangan perkebunan, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Susila, W. R. (1998). ‘Daya saing dan efisiensi penggunaan sumberdaya minyak sawit mentah (CPO) Indonesia’, Jurnal Agribisnis, 2(2): 16-30).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar