Pendahuluan
1 Rekomendasi untuk pengomposan cepat. Kondisi diluar batas tersebut dapat juga memberikan hasil yang baik
2 Tergantung pada material yang digunakan, ukuran tumpukan, dan keadaan lingkungan
(Rynk et al., 1992).
Kelapa
sawit merupakan produk yang banyak diminati oleh para investor karena
nilai ekonominya yang cukup tinggi. Saat ini luas areal perkebunan
kelapa sawit di indonesia mencapai 7.077.207 ha atau meningkat 12,95% jika dibandingkan akhir tahun 2005 yang hanya 5.453.817 ha. Volume ekspor minyak sawit pada tahun 2009 mencapai 14.628.000 ton
dengan nilai 10,971 milliar US$. Jumlah tersebut tergolong tinggi bila
dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain yaitu: kakao, 463.632 ton
dengan nilai 924,157 juta US$; kopi, 350.000 ton dengan nilai 630 juta
US$, dan minyak kelapa, 739.923 ton dengan nilai 570,410 juta US$
(DIRJEN Perkebunan, 2009).
Peningkatan produksi pabrik kelapa sawit memiliki konsekuensi
berupa peningkatan limbah kelapa sawit yang dihasilkan. Limbah pabrik
kelapa sawit dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat,
limbah cair, dan limbah gas. Salah satu jenis limbah padat yang paling
banyak dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit adalah tandan kosong kelapa
sawit (TKKS) yaitu sekitar 22 – 23% dari total tandan buah segar (TBS)
yang diolah (Fauzi et al., 2002). Total jumlah limbah TKKS seluruh Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 4,2 juta ton.
Agar limbah berupa TKKS yang jumlahnya sangat besar ini tidak
menimbulkan permasalahan, maka diperlukan manajemen yang baik untuk
mengelolanya. Salah satu alternatif cara pengelolaan TKKS adalah dengan
melakukan pengomposan. Setelah dikomposkan, limbah berupa TKKS dapat
digunakan sebagai pupuk organik.
Pengomposan
merupakan proses dekomposisi bahan organik kompleks yang dilakukan oleh
mikroorganisme sehingga menjadi bahan organik sederhana yang kemudian
mengalami mineralisasi sehingga menjadi tersedia dalam bentuk mineral
yang dapat diserap oleh tanaman atau ogranisme lain. TKKS merupakan
bahan organik kompleks yang komponen penyusunnya adalah material yang kaya unsur karbon (Sellulosa 42,7%, Hemisellulosa 27,3%, lignin 17,2%) (Darnoko et al.,
2006. Sellulosa merupakan polymer dari glukosa, proses degradasi
sellulosa menjadi glukosa (soluble sugars) yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk proses biosintesis memerlukan waktu yang cukup
lama, karena menggunakan setidaknya tiga jenis enzim: exoglucanase,
endoglucanase dan β-glucosidase (cellulase complex). Hal tersebut menyebabkan keseluruhan proses dekomposisi TKKS memerlukan waktu yang lama.
Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses
pengomposan TKKS akan menimbulkan permasalahan, karena semakin lama
proses pengomposan berlangsung maka semakin luas area yang dibutuhkan
untuk pengomposan, biaya yang dikeluarkan untuk pengomposan TKKS juga
akan semakin besar. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka
dibutuhkan suatu teknik pengomposan yang tepat agar proses pengomposan
dapat berjalan dengan optimal.
=================================================================
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis
Jack.) berasal dari Nigeria. Meskipun demikian, ada yang menyatakan
bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena
lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan
dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di
luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua
Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih
tinggi (Fauzi et al., 2002).
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit
kelapa sawit yang dibawa dari Mauritus dan Amsterdam dan ditanam di
Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan
dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha
perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang
Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika.
Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya
perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama
berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal
perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit
pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa (Fauzi et al., 2002)
Pada
umumnya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3 tahun
pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, karena pada umur tersebut
pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit akan
mulai berbuah pada umur 4 sampai enam tahun, dan pada usia tujuh tahun
disebut sebagai periode matang (the mature periode) dimana pada saat itu
tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunch). Pada
usia 11 sampai 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami penurunan
produksi, dan biasanya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa sawit akan
mati (Fauzi et al., 2002).
Semua
komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Buah sawit memiliki daging dan
biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO (crude
palm oil), sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (palm kernel).
Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu cangkang
biji sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar ketel uap (Fauzi et al., 2002).
Minyak
sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri setelah
melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO
(refine, bleached and Deodorized palm oil). Disamping itu dapat
diuraikan untuk produksi minyak sawit padat (RBD stearin) dan untuk
produksi minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein terutama dipergunakan
untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD stearin dipergunakan untuk
margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku industri sabun dan
deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang
terdiri dari asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses
penyulingan minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 %
PFAD (Palm fatty Acid Distillate) dan 0,5 % buangan (Fauzi et al., 2002).
Proses
pengolahan kelapa sawit menghasilkan produk ikutan berupa limbah kelapa
sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya limbah kelapa sawit dapat
digolongkan menjadi dua jenis yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan
limbah industri kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit adalah limbah
yang dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini
digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah
gas (Fauzi et al., 2002).
Tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu jenis limbah padat yang
dihasilkan dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS ini cukup besar
karena hampir sama dengan jumlah produksi minyak sawit mentah. Limbah
tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Komponen terbesar
dari TKKS adalah selulosa (40-60 %), disamping komponen lain yang
jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30 %), dan lignin (15-30
%) (Dekker, 1991). Salah satu alternatif pemanfaatan tandan kosong
kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik dengan melakukan pengomposan
(Fauzi et al., 2002).
Pengomposan
adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengkonversi material
organik menjadi kompos. Pengomposan dinominasi oleh proses aerob atau
proses yang membutuhkan oksigen. Mikroorganisme memakai O2 untuk mendapatkan energi dan nutrisi dari material organik. Dalam proses tersebut mereka menghasilkan karbon dioksida (CO2),
air, panas, kompos dan bermacam-macam gas sebagai produk dari
dekomposisi material organik. Berbagai macam transformasi biologis dan
produk terjadi dalam proses pengomposan. Dilakukan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yang menghuni bermacam-macam lingkungan mikro. Meskipun
mikroorganisme mendekomposisi beberapa material organik, mereka terus
menciptakan senyawa organik baru dari produk hasil dekomposisi. Unsur
seperti nitogen (N) dan sulfur (S) bergabung dengan unsur lain, berubah
secara cepat diantara bentuk terlarut dan tidak terlarut. Bentuk unsur
yang terlarut adalah ditujukan untuk digunakan oleh mikrobia atau
kemungkinan terjadi pencucian. Proses kimia dan fisika yang lain juga
terjadi, mempengaruhi porositas, kapasitas menahan air dan nutrisi,
konduktivitas, pH, dan sifat lain yang mungkin berpengaruh baik dalam
proses pengomposan atau potensi penggunaan dari produk hasil pengomposan
(Stoffella dan Kahn, 2001).
Pengomposan
adalah proses aerob, yang berarti dalam prosesnya membutuhkan udara.
Bahkan udara mungkin lebih penting dari makanan bagi mikroorganisme,
pada umumnya dalam tumpukan kompos, udara lebih dahulu habis daripada
makanan. Jika tidak terdapat cukup udara, dekomposisi terjadi secara
anaerob, yang merupakan hal buruk untuk dua alasan. Pertama, perosesnya
lebih lambat daripada pengomposan secara aerob, dan kedua, beberapa
produknya, seperti ammonia dan hidrogen sulfida menimbulkan bau busuk
(Thompson K, 2007)
Oksigen
disediakan pada material kompos melalui aerasi. Mekanisme aerasi dapat
sangat efektif, tetapi tidak sempurna. Dalam kenyataan, sebagian dari
proses dekomposisi juga terjadi secara anaerob (tanpa O2).
Proses anaerob berperan pada keseluruhan dekomposisi dari material
kompos. Tetapi, dekomposisi anaerob yang berlebihan tidak diinginkan
selama pengomposan karena menghasilkan degradasi yang tidak sempurna dan
bau (Miller, 1993). Menyediakan kondisi aerasi yang baik meminimalkan
bau yang berhubungan dengan proses anaerob dan menyempurnakan
dekomposisi dari produk degradasi anaerobik parsial seperti asam
organik, yang dapat berperan pada fitotoksisitas ketika kompos digunakan
(Stoffella dan Kahn, 2001).
Kondisi yang dianjurkan untuk pengomposan
Kondisi | Batas yang layak | Batas yang dianjurkan |
Rasio C/N
|
20/1 – 40/1 | 25/1 – 30/1 |
Kelembaban | 40 – 65 % (1) | 50 – 60 % |
Konsentrasi O2
|
> 5 % | jauh lebih besar dari 5 % |
Ukuran Partikel
|
3 – 13 | Bervariasi (2) |
pH | 5.5 – 9.0 | 6.5 – 80 |
Temperatur
|
43 – 66 |
6.5 – 80 |
Dalam
sistem pengomposan cepat (high-rate composting) yang diteliti oleh John
R. Snell di Michigan State University, proses pengomposan dilakukan
secara mekanis dalam rektor vertikal. Penelitiannya menunjukkan bahwa
limbah padat pada tanah memberikan hasil pengomposan terbaik ketika
rasio C/N dalam reaktor berada dibawah kisaran 50/1, pH di dalam reaktor
dipertahankan pada kisaran 5.5 – 8.0, dengan kelembaban diantara 50 –
60%. inokulum mikrobia terbaik yang digunakan sebagai aktivator berasal
dari kompos matang, jumlahnya antara 2 – 10% dari limbah padat yang
dikomposkan. Kompos yang berada di dalam reaktor diaduk secara
terus-menerus agar mendapat udara dengan baik. Udara ditiupkan ke dalam
reaktor untuk menjaga supply oksigen bagi mikroorganisme. Temperatur
dikontrol untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Professor
Snell menemukan bahwa proses pengomposan selesai ketika sudah tidak ada
peningkatan temperatur yang signifikan, tidak ada lagi kandungan
nitrogen yang hilang, dan kompos tidak menghasilkan bau yang menyengat
(McKinney, 2004). Sistem high-rate composting tersebut tidak cocok jika
diterapkan dalam skala intustri, karena biaya yang dibutuhkan untuk
proses pengomposan akan sangat besar.
Parameter
psikokhemis untuk kompos yang sudah matang sangat bervariasi. Yang
paling penting adalah: pH (7.5 – 7.8); kelembaban (55 – 65%); kandungan
residu kering (35 – 45%); kandungan abu (15 – 25%); total nitrogen ( 2 –
3%); kandungan ammonia (1.5 – 1.8%); kandungan nitrat (1 – 2%); total
fosfor (2.5 – 3%); total potassium (1 - 1.2%); rasio C/N (20 – 30).
Kandungan unsur mikro sebagai berikut: Cu (3–3.6), Zn (40–50), Co
(0.05–0.1), Mn (40–45), dan Fe (100) (Neklyudov, A. D. et al., 2008).
Pada
proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan di
sebagian besar industri sawit, hal pertama yang dilakukan adalah
pencacahan. TKKS dicacah terlebih dahulu menjadi serpihan-serpihan
dengan memakai mesin pencacah. Kemudian bahan yang telah dicacah
ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar sekitar 2,5 meter dan tinggi 1
meter. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah
cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit dengan
kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam dapat memproduksi 60 ton
kompos dari 100 ton tandan kosong sawit yang dihasilkan (Fauzi et al., 2002).
Proses
pengomposan akan berlangsung dalam waktu 1,5 – 3 bulan. Kompos yang
sudah matang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
- Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
- Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
- Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
Pengamatan
secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah turun. Rasio C/N
awal TKKS berkisar antara 50-60. Setelah proses pengomposan rasio C/N
akan turun dibawah 25. Apabila rasio C/N lebih tinggi dari 25 proses
pengomposan belum sempurna. Pengomposan perlu dilanjutkan kembali
sehingga rasio C/N di bawah 25 (Isroi, 2008).
Salah satu parameter penting dalam mempercepat proses pengomposan adalah ketersediaan O2. Pada sistem pengomposan, supply O2
dipenuhi melalui mekanisme aerasi. Aliran udara pada sistem pengomposan
perlu dipertahankan pada 10 dan 30 cf/hari/lb vs muatan awal dari
limbah padat yang dikomposkan. Terlalu sedikit aerasi menyebabkan
kondisi anaerob terjadi, memperlambat proses pengomposan. Terlalu banyak
aeasi akan menyebabkan kompos menjadi kering dan
menghambat/menghentikan metabolisme. Kelembaban optimal pada kompos
adalah diantara 55% dan 69% (McKinney, 2004).
Hal
penting yang perlu diketahui dalam setiap proses pengomposan adalah
selalu ada batas maksimal mengenai kecepatan proses pengomposan suatu
material organik. Jika batas maksimal tersebut telah dicapai, perlakuan
apapun yang diberikan terhadap sistem kompos tidak akan dapat
mempercepat laju proses pengomposan.
Proses Pengomposan TKKS di Salah satu Unit Pengomposan-Jelatang, Jambi.
Berdasarkan
data hasil pengamatan yang dilakukan penulis selama proses pengomposan
tandan kosong kelapa sawit (TKKS) di unit Pengomposan Jelatang, Jambi.
diketahui suhu di jalur pengomposan masih cukup tinggi pada saat
dilakukan pemanenan kompos, serta terdapat perbedaan suhu pada beberapa
titik lokasi di jalur pengomposan
Suhu
yang tinggi merupakan salah salah satu faktor pembatas aktifitas
mikroorganisme serta laju degradasi material organik. Proses degradasi
bahan organik oleh mikroorganisme akan menimbulkan peningkatan suhu,
yang akan terus meningkat dalam suasana anaerob. Hal tersebut dapat
terjadi karena panas yang dihasilkan oleh proses metabolisme mikrobia
akan terisolasi di dalam tumpukan kompos hingga melebihi panas yang
dapat dilepaskan ke lingkungan. Proses degradasi material organik dengan
laju tertinggi (optimal) biasanya terjadi pada suhu antara 35 dan
55°C.
Perbedaan
suhu pada beberapa titik lokasi di jalur pengomposan disebabkan oleh
penambahan kompos matang (Starter) yang kurang merata pada jalur
pengomposan, sehingga bagian tumpukan yang mengandung banyak kompos
matang akan memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
mengandung sedikit kompos matang. Suhu yang lebih tinggi pada perlakuan
penambahan kompos matang dikarenakan pada kompos matang telah terdapat
mikroorganisme dengan jumlah yang cukup banyak, sehingga kompos matang
tersebut dapat menjadi starter untuk proses pengomposan selanjutnya.
Adanya starter akan dapat mempercepat proses perombakan bahan organik
pada substrat kompos, hal tersebut ditandai dengan meningkatnya suhu
pada tumpukan kompos.
Sebuah
areal pengomposan harus memiliki sistem drainase yang memungkinkan air
mengalir dengan lancar sehingga tidak terdapat genangan air pada areal
pengomposan. Ketersediaan air sangat menentukan dalam proses pengomposan
untuk memenuhi kelembaban yang dibutuhkan dalam proses pengomposan,
yaitu 50 – 60%. Namun adanya air yang berlebihan justru dapat
mengahambat proses pengomposan, Air yang berlebih menyebabkan
terganggunya mekanisme aerasi yang terjadi secara pasif dalam tumpukan
kompos sehingga pengomposan akan berlangsung secara anaerob.
Sistem
drainase yang terdapat pada areal pengomposan di unit Pengomposan masih
belum dapat mengimbangi banyaknya LCPKS yang diaplikasikan pada
tumpukan kompos. Seringkali terdapat genanagan-genangan air dan LCPKS
pada areal pengomposan. Hal tersebut dapat menghambat mekanisme aerasi
yang menyebabkan kurangnya suply udara (O2) pada tumpukan kompos. Jika
tidak terdapat cukup udara, dekomposisi terjadi secara anaerob, yang
perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob.
Proses
pengomposan TKKS di Unit Unit berlangsung dalam waktu 2-3 bulan. Kompos
yang sudah matang memiliki kriteria sebagai berikut:
- Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
- Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
- Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
- Pengamatan secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah turun (25-30), rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60.
Pada
kompos yang dihasilkan di unit Pengomposan telah terjadi perubahan
warna menjadi kecoklatan . Namun pada saat pemanenan, tumpukan kompos
yang dihasilkan masih memiliki temperatur yang cukup tinggi (49°C).
Tingginya temperatur pada tumpukan kompos menunjukkan bahwa proses
pengomposan TKKS di Unit Pengomposan belum sepenuhnya selesai pada saat
dilakukan pemanenan. Rasio C/N kompos telah mengalami penurunan, yaitu
berkisar antara 6,44-16,16. Penurunan rasio C/N tersebut tidak dapat
digunakan sebagai parameter kematangan kompos, karena pada proses
pengomposan dilakukan penambahan pupuk N (urea) sehingga terjadi
peningkatan kandungan unsur N pada kompos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar