Selasa, 22 November 2011

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit

Pendahuluan
Kelapa sawit merupakan produk yang banyak diminati oleh para investor karena nilai ekonominya yang cukup tinggi. Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit di indonesia mencapai 7.077.207 ha atau meningkat 12,95% jika dibandingkan akhir tahun 2005 yang hanya 5.453.817 ha. Volume ekspor minyak sawit pada tahun 2009 mencapai 14.628.000 ton dengan nilai 10,971 milliar US$. Jumlah tersebut tergolong tinggi bila dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain yaitu: kakao, 463.632 ton dengan nilai 924,157 juta US$; kopi, 350.000 ton dengan nilai 630 juta US$, dan minyak kelapa, 739.923 ton dengan nilai 570,410 juta US$ (DIRJEN Perkebunan, 2009).
Peningkatan produksi pabrik kelapa sawit memiliki konsekuensi berupa peningkatan limbah kelapa sawit yang dihasilkan. Limbah pabrik kelapa sawit dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Salah satu jenis limbah padat yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yaitu sekitar 22 – 23% dari total tandan buah segar (TBS) yang diolah (Fauzi et al., 2002). Total jumlah limbah TKKS seluruh Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 4,2 juta ton. Agar limbah berupa TKKS yang jumlahnya sangat besar ini tidak menimbulkan permasalahan, maka diperlukan manajemen yang baik untuk mengelolanya. Salah satu alternatif cara pengelolaan TKKS adalah dengan melakukan pengomposan. Setelah dikomposkan, limbah berupa TKKS dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Pengomposan merupakan proses dekomposisi bahan organik kompleks yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menjadi bahan organik sederhana yang kemudian mengalami mineralisasi sehingga menjadi tersedia dalam bentuk mineral yang dapat diserap oleh tanaman atau ogranisme lain. TKKS merupakan bahan organik kompleks yang komponen penyusunnya adalah material yang kaya unsur karbon (Sellulosa 42,7%, Hemisellulosa 27,3%, lignin 17,2%) (Darnoko et al., 2006. Sellulosa merupakan polymer dari glukosa, proses degradasi sellulosa menjadi glukosa (soluble sugars) yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk proses biosintesis memerlukan waktu yang cukup lama, karena menggunakan setidaknya tiga jenis enzim: exoglucanase, endoglucanase dan β-glucosidase (cellulase complex). Hal tersebut menyebabkan keseluruhan proses dekomposisi TKKS memerlukan waktu yang lama.
Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses pengomposan TKKS akan menimbulkan permasalahan, karena semakin lama proses pengomposan berlangsung maka semakin luas area yang dibutuhkan untuk pengomposan, biaya yang dikeluarkan untuk pengomposan TKKS juga akan semakin besar. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan suatu teknik pengomposan yang tepat agar proses pengomposan dapat berjalan dengan optimal.
=================================================================
           Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari Nigeria. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi et al., 2002).
           Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritus dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa (Fauzi et al., 2002)
Pada umumnya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3 tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, karena pada umur tersebut pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit akan mulai berbuah pada umur 4 sampai enam tahun, dan pada usia tujuh tahun disebut sebagai periode matang (the mature periode) dimana pada saat itu tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunch). Pada usia 11 sampai 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami penurunan produksi, dan biasanya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa sawit akan mati (Fauzi et al., 2002).
Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO (crude palm oil), sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (palm kernel). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu cangkang biji sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar ketel uap (Fauzi et al., 2002).
Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri setelah melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (refine, bleached and Deodorized palm oil). Disamping itu dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat (RBD stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD stearin dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % PFAD (Palm fatty Acid Distillate) dan 0,5 % buangan (Fauzi et al., 2002).
Proses pengolahan kelapa sawit menghasilkan produk ikutan berupa limbah kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya limbah kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas (Fauzi et al., 2002).
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu jenis limbah padat yang dihasilkan dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS ini cukup besar karena hampir sama dengan jumlah produksi minyak sawit mentah. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Komponen terbesar dari TKKS adalah selulosa (40-60 %), disamping komponen lain yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30 %), dan lignin (15-30 %) (Dekker, 1991). Salah satu alternatif pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik dengan melakukan pengomposan (Fauzi et al., 2002).
Pengomposan adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengkonversi material organik menjadi kompos. Pengomposan dinominasi oleh proses aerob atau proses yang membutuhkan oksigen. Mikroorganisme memakai O2 untuk mendapatkan energi dan nutrisi dari material organik. Dalam proses tersebut mereka menghasilkan karbon dioksida (CO2), air, panas, kompos dan bermacam-macam gas sebagai produk dari dekomposisi material organik. Berbagai macam transformasi biologis dan produk terjadi dalam proses pengomposan. Dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme, yang menghuni bermacam-macam lingkungan mikro. Meskipun mikroorganisme mendekomposisi beberapa material organik, mereka terus menciptakan senyawa organik baru dari produk hasil dekomposisi. Unsur seperti nitogen (N) dan sulfur (S) bergabung dengan unsur lain, berubah secara cepat diantara bentuk terlarut dan tidak terlarut. Bentuk unsur yang terlarut adalah ditujukan untuk digunakan oleh mikrobia atau kemungkinan terjadi pencucian. Proses kimia dan fisika yang lain juga terjadi, mempengaruhi porositas, kapasitas menahan air dan nutrisi, konduktivitas, pH, dan sifat lain yang mungkin berpengaruh baik dalam proses pengomposan atau potensi penggunaan dari produk hasil pengomposan (Stoffella dan Kahn, 2001).
Pengomposan adalah proses aerob, yang berarti dalam prosesnya membutuhkan udara. Bahkan udara mungkin lebih penting dari makanan bagi mikroorganisme, pada umumnya dalam tumpukan kompos, udara lebih dahulu habis daripada makanan. Jika tidak terdapat cukup udara, dekomposisi terjadi secara anaerob, yang merupakan hal buruk untuk dua alasan. Pertama, perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob, dan kedua, beberapa produknya, seperti ammonia dan hidrogen sulfida menimbulkan bau busuk (Thompson K, 2007)
Oksigen disediakan pada material kompos melalui aerasi. Mekanisme aerasi dapat sangat efektif, tetapi tidak sempurna. Dalam kenyataan, sebagian dari proses dekomposisi juga terjadi secara anaerob (tanpa O2). Proses anaerob berperan pada keseluruhan dekomposisi dari material kompos. Tetapi, dekomposisi anaerob yang berlebihan tidak diinginkan selama pengomposan karena menghasilkan degradasi yang tidak sempurna dan bau (Miller, 1993). Menyediakan kondisi aerasi yang baik meminimalkan bau yang berhubungan dengan proses anaerob dan menyempurnakan dekomposisi dari produk degradasi anaerobik parsial seperti asam organik, yang dapat berperan pada fitotoksisitas ketika kompos digunakan (Stoffella dan Kahn, 2001).
Kondisi yang dianjurkan untuk pengomposan
Kondisi Batas yang  layak Batas yang dianjurkan
Rasio C/N
20/1 – 40/1 25/1 – 30/1
Kelembaban 40 – 65 % (1) 50 – 60 %
Konsentrasi O2
> 5 % jauh lebih besar dari 5 %
Ukuran Partikel
3 – 13 Bervariasi (2)
pH 5.5 – 9.0 6.5 – 80
Temperatur
43 – 66 6.5 – 80
1 Rekomendasi untuk pengomposan cepat. Kondisi diluar batas tersebut dapat juga memberikan hasil yang baik
2 Tergantung pada material yang digunakan, ukuran tumpukan, dan keadaan lingkungan
(Rynk et al., 1992).
Dalam sistem pengomposan cepat (high-rate composting) yang diteliti oleh John R. Snell di Michigan State University, proses pengomposan dilakukan secara mekanis dalam rektor vertikal. Penelitiannya menunjukkan bahwa limbah padat pada tanah memberikan hasil pengomposan terbaik ketika rasio C/N dalam reaktor berada dibawah kisaran 50/1, pH di dalam reaktor dipertahankan pada kisaran 5.5 – 8.0, dengan kelembaban diantara 50 – 60%. inokulum mikrobia terbaik yang digunakan sebagai aktivator berasal dari kompos matang, jumlahnya antara 2 – 10% dari limbah padat yang dikomposkan. Kompos yang berada di dalam reaktor diaduk secara terus-menerus agar mendapat udara dengan baik. Udara ditiupkan ke dalam reaktor untuk menjaga supply oksigen bagi mikroorganisme. Temperatur dikontrol untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Professor Snell menemukan bahwa proses pengomposan selesai ketika sudah tidak ada peningkatan temperatur yang signifikan, tidak ada lagi kandungan nitrogen yang hilang, dan kompos tidak menghasilkan bau yang menyengat (McKinney, 2004). Sistem high-rate composting tersebut tidak cocok jika diterapkan dalam skala intustri, karena biaya yang dibutuhkan untuk proses pengomposan akan sangat besar.
Parameter psikokhemis untuk kompos yang sudah matang sangat bervariasi. Yang paling penting adalah: pH (7.5 – 7.8); kelembaban (55 – 65%); kandungan residu kering (35 – 45%); kandungan abu (15 – 25%); total nitrogen ( 2 – 3%); kandungan ammonia (1.5 – 1.8%); kandungan nitrat (1 – 2%); total fosfor (2.5 – 3%); total potassium (1 - 1.2%); rasio C/N (20 – 30). Kandungan unsur mikro sebagai berikut: Cu (3–3.6), Zn (40–50), Co (0.05–0.1), Mn (40–45), dan Fe (100) (Neklyudov, A. D. et al., 2008).
Pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan di sebagian besar industri sawit, hal pertama yang dilakukan adalah pencacahan. TKKS dicacah terlebih dahulu menjadi serpihan-serpihan dengan memakai mesin pencacah. Kemudian bahan yang telah dicacah ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar sekitar 2,5 meter dan tinggi 1 meter. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam dapat memproduksi 60 ton kompos dari 100 ton tandan kosong sawit yang dihasilkan (Fauzi et al., 2002).
Proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 1,5 – 3 bulan. Kompos yang sudah matang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
  2. Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
  3. Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
Pengamatan secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah turun. Rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60. Setelah proses pengomposan rasio C/N akan turun dibawah 25. Apabila rasio C/N lebih tinggi dari 25 proses pengomposan belum sempurna. Pengomposan perlu dilanjutkan kembali sehingga rasio C/N di bawah 25 (Isroi, 2008).
Salah satu parameter penting dalam mempercepat proses pengomposan adalah ketersediaan O2. Pada sistem pengomposan, supply O2 dipenuhi melalui mekanisme aerasi. Aliran udara pada sistem pengomposan perlu dipertahankan pada 10 dan 30 cf/hari/lb vs muatan awal dari limbah padat yang dikomposkan. Terlalu sedikit aerasi menyebabkan kondisi anaerob terjadi, memperlambat proses pengomposan. Terlalu banyak aeasi akan menyebabkan kompos menjadi kering dan menghambat/menghentikan metabolisme. Kelembaban optimal pada kompos adalah diantara 55% dan 69% (McKinney, 2004).
Hal penting yang perlu diketahui dalam setiap proses pengomposan adalah selalu ada batas maksimal mengenai kecepatan proses pengomposan suatu material organik. Jika batas maksimal tersebut telah dicapai, perlakuan apapun yang diberikan terhadap sistem kompos tidak akan dapat mempercepat laju proses pengomposan.

Proses Pengomposan TKKS di Salah satu Unit Pengomposan-Jelatang, Jambi.
Berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan penulis selama proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) di unit Pengomposan Jelatang, Jambi. diketahui suhu di jalur pengomposan masih cukup tinggi pada saat dilakukan pemanenan kompos, serta terdapat perbedaan suhu pada beberapa titik lokasi di jalur pengomposan
Suhu yang tinggi merupakan salah salah satu faktor pembatas aktifitas mikroorganisme serta laju degradasi material organik. Proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme akan menimbulkan peningkatan suhu, yang akan terus meningkat dalam suasana anaerob. Hal tersebut dapat terjadi karena panas yang dihasilkan oleh proses metabolisme mikrobia akan terisolasi di dalam tumpukan kompos hingga melebihi panas yang dapat dilepaskan ke lingkungan. Proses degradasi material organik dengan laju tertinggi  (optimal) biasanya terjadi pada suhu antara 35 dan 55°C.
Perbedaan suhu pada beberapa titik lokasi di jalur pengomposan disebabkan oleh penambahan kompos matang (Starter) yang kurang merata pada jalur pengomposan, sehingga bagian tumpukan yang mengandung banyak kompos matang akan memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengandung sedikit kompos matang. Suhu yang lebih tinggi pada perlakuan penambahan kompos matang dikarenakan pada kompos matang telah terdapat mikroorganisme dengan jumlah yang cukup banyak, sehingga kompos matang tersebut dapat menjadi starter untuk proses pengomposan selanjutnya. Adanya starter akan dapat mempercepat proses perombakan bahan organik pada substrat kompos, hal tersebut ditandai dengan meningkatnya suhu pada tumpukan kompos.
Sebuah areal pengomposan harus memiliki sistem drainase yang memungkinkan air mengalir dengan lancar sehingga tidak terdapat genangan air pada areal pengomposan. Ketersediaan air sangat menentukan dalam proses pengomposan untuk memenuhi kelembaban yang dibutuhkan dalam proses pengomposan, yaitu 50 – 60%. Namun adanya air yang berlebihan justru dapat mengahambat proses pengomposan, Air yang berlebih menyebabkan terganggunya mekanisme aerasi yang terjadi secara pasif dalam tumpukan kompos sehingga pengomposan akan berlangsung secara anaerob.
Sistem drainase yang terdapat pada areal pengomposan di unit Pengomposan masih belum dapat mengimbangi banyaknya LCPKS yang diaplikasikan pada tumpukan kompos. Seringkali terdapat genanagan-genangan air dan LCPKS pada areal pengomposan. Hal tersebut dapat menghambat mekanisme aerasi yang menyebabkan kurangnya suply udara (O2) pada tumpukan kompos. Jika tidak terdapat cukup udara, dekomposisi terjadi secara anaerob, yang perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob.
Proses pengomposan TKKS di Unit Unit berlangsung dalam waktu 2-3 bulan. Kompos yang sudah matang memiliki kriteria sebagai berikut:
  1. Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
  2. Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
  3. Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
  4. Pengamatan secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah turun (25-30), rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60.
Pada kompos yang dihasilkan di unit Pengomposan telah terjadi perubahan warna menjadi kecoklatan . Namun pada saat pemanenan, tumpukan kompos yang dihasilkan masih memiliki temperatur yang cukup tinggi (49°C). Tingginya temperatur pada tumpukan kompos menunjukkan bahwa proses pengomposan TKKS di Unit Pengomposan belum sepenuhnya selesai pada saat dilakukan pemanenan. Rasio C/N kompos telah mengalami penurunan, yaitu berkisar antara 6,44-16,16. Penurunan rasio C/N tersebut tidak dapat digunakan sebagai parameter kematangan kompos, karena pada proses pengomposan dilakukan penambahan pupuk N (urea) sehingga terjadi peningkatan kandungan unsur N pada kompos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar